Tuesday 27 October 2015

Hukum Menggugurkan Janin Yang Dipastikan Lahir Cacat




komentar | baca - tulis komentar

ibu hamil1

Sahabat Muslimah, Di zaman modern ini kita bisa dengan mudah mengetahui janin yang ada ditubuh kita sehat atau tidak bahkan bisa mengetahui jenis kelaminnya dengan mengunakan USG. Sehingga para dokter bisa mengetahui janin kita sehat, normal atau cacat. Sementara itu, ketika ada janin yang lahir cacat, keberadaannya akan menjadi aib bagi orang tua dan keluarganya. Apakah dengan alasan ini kita dibolehkan menggugurkan janin tersebut?

Sebelum berbicara masalah ini, akan kami sebutkan beberapa hal yang perlu diketahui sebelum memahami masalah ini. Bahwa peniupan ruh, itu terjadi setelah janin berusia 120 hari dalam kandungan. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة، ثم علقة مثل ذلك، ثم مضغة مثل ذلك- فأربعون وأربعون، وأربعون أصبحت مائة وعشرين، أي أربعة أشهر- ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح، ويؤمر بأربع كلمات: بكتب رزقه، وأجله، وعمله، وشقي أو سعيد

”Sesungguhnya penciptaan kalian terjadi di perut ibunya, selama 40 hari dalam bentuk air mani, kemudian menjadi segumpal darah selama 40 hari juga, kemudian menjadi segumpal daging selama itu (40 hari) juga – total 120 hari atau 4 bulan – kemudian diutuslan malaikat kepadanya, dia meniupkan ruh ke janin itu, dan diperintahkan untuk mencatat 4 hal: rizqinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia kelak bahagia atau celaka….” (HR. Bukhari & Muslim).

Hadits ini merupakan dalil yang dzahir bahwa peniupan ruh terjadi setelah janin berusia 120 hari. Batasan ini menjadi penting dalam membahas masalah ini.
Hanya saja, terdapat hadits dari Hudzaifah bin Usaid radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يدخل الملك على النطفة بعدما تستقر في الرحم بأربعين، أو خمس وأربعين ليلة، فيقول: يا رب، أشقي أو سعيد؟ فيكتبان، فيقول: أي رب أذكر أم أنثى فيكتبان، ويكتب عمله، وأثره، وأجله ورزقه، ثم تطوى الصحيفة فلا يزاد فيها ولا ينقص

”Seorang malaikat mendatangi nutfah (air mani) setelah air mani ini tinggal di rahim selama 40 hari atau 45 hari. Malaikat ini bertanya: “Ya Rab, apakah dia menjadi orang celaka ataukah bahagia?” Lalu jawabannya ditulis. “Ya Rab, dia laki-laki ataukah perempuan?” lalu jawabannya ditulis. Ditulis pula amalnya, pengaruh amalnya, ajalnya, dan rizkinya. Kemudia catatan itu ditutup, sehingga tidak dia tambahkan dan tidak mengurangi.” (HR. Muslim)

Hadits Hudzaifah ini menunjukkan bahwa pencatatan takdir dilakukan setelah janin berusia 40 atau 45 hari. Sementara hadits Ibn Mas’ud menyatakan bahwa pencatatan itu dilakukan setelah 120 hari. Dan kedua hadits ditinjau dari sisi sanad, statusnya shahih. Lalu bagaimana komprominya?
Ibnul Qoyim menjelaskan dalam kitabnya ‘Syifa Al-Alil‘ beliau mengkompromikan hadits ini dengan mengatakan,
فاجتمعت هذه الأحاديث والآثار على تقدير رزق العبد وأجله وشقاوته وسعادته، وهو في بطن أمه، واختلفت في وقت هذا التقدير: ففي حديث ابن مسعود أنه يقع بعد مائة وعشرين يوما من حصول النطفة في الرحم، وفي حديث حذيفة أنه بعد أربعين يوما أو خمسة وأربعين يوما
Hadits-hadits di atas sama-sama menyebutkan tentang penetapan takdir bagi seorang hamba, rizkinya, ajalnya, celaka, ataukah bahagia, ketika dia berada di perut ibunya. Hanya saja, hadits ini berbeda-beda dalam menetapkan waktu penetapan takdir itu. Hadits Ibn Mas’ud menyebutkan, penetapan takdir itu terjadi setelah berusia 120 hari sejak terbentuknya nutfah dalam rahim ibunya. Sementara hadits Hudzaifah menyebutkan bahwa penetapan takbir itu terjadi pada usia janin 40 atau 45 hari.

وكثير من الناس يظن التعارض بين الحديثين ولا تعارض بينهما بحمد الله، وأن الملك الموكل بالنطفة يكتب ما يقدره الله على رأس الأربعين الأولى حتى يأخذ في الطور الثاني وهو العلقة، وأن الملك الذي ينفخ فيه، يعني الروح فإنما ينفخها بعد الأربعين الثالثة، يعني بعد مائة وعشرين يوما، فيؤمر عند نفخ الروح بكتب رزقه، وأجله، وعمله، وشقاوته أو سعادته، وهذا تقدير بعد تقدير، فهذا تقدير غير التقدير الذي كتبه الملك الموكل بالنطفة

Banyak orang yang mengira bahwa ada pertentangan dalam dua hadits ini, padahal sejatinya tidak ada pertentangan diantara keduanya, alhamdulillah. Komprominya, bahwa malaikat yang diutus ketika fase nutfah, dia mencatat takdir Allah di awal usia 40 hari pertama, sampai menjadi fase kedua, yaitu ‘alaqah (segumpal darah). Sementara malaikat yang diutus untuk meniupkan ruh, ruh itu baru ditiupkan setelah usia 120 hari. Dia diperintahkan untuk mencatat rizkinya, ajalnya, amalnya, bahagia ataukah sengsara. Takdir ini ditetapkan setelah ada takdir yang pertama. Takdir kedua bukan takdir yang dicatat oleh malaikat yang mendatangi nutfah.

فيقدر الله سبحانه شأن النطفة حين تأخذ في مبدأ التخليق وهو العلق، ويقدر الله شأن الروح حين تتعلق بالجسد بعد مائة وعشرين يوما، فهو تقدير بعد تقدير، فاتفقت أحاديث النبي rوصدق بعضها بعضا

Dengan demikian, Allah menetapkan takdir pada fase nutfah, ketika dimulai awal penciptaan manusia dalam ujud segumpal darah.Kemudian Allah tetapkan keadaan ruh, ketika masuk ke jasad setelah 120 hari. Ini adalah takdir setelah ada takdir. Sehingga tidak bertentangan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam antara satu dengan yang lain.

[Syifa Al-Alil, hlm. 22]
Hanya saja, hadits Hudzaifah tidak menyebutkan peniupan ruh. Peristiwa ini hanya disebutkan dalam hadits Ibn Mas’ud. Sehingga peniupan ruh dipastikan terjadi setelah 120 hari. Inilah yang menjadi titik pembahasan kita di kesempatan ini.

Sebenarnya, masalah ini – menggugurkan janin yang cacat – telah dibahas di majlis Komite Ulama Besar KSA, dan Majma’ Fiqh Islami di bawah Rabithah Alam Islami. Dihasilkanlah keputusan dari Majlis Komite Ulama dan keputusan dari Majma’ Fiqh. Kedua keputusan, tidak jauh berbeda dalam menetapkan hukumnya secara syariat.
Berikut penjelasan rincinya,

Tidak boleh menggugurkan kandungan untuk semua fase kehamilan, kecuali karena ada alasan yang dibenarkan secara syariat. Itupun dengan batasan yang sangat sempit. Sampaipun di fase 40 hari pertama. Hanya boleh dilakukan karena ada alasan yang dibolehkan secara syariat.Sementara menggugurkan kandungan, karena khawatir terlalu berat dalam mengasuh anak, atau tidak mampu menanggung kehidupan mereka, atau merasa cukup dengan anak yang sudah dimiliki dan tidak mau memiliki anak lagi, maka ini semua tidak dinilai sebagai pembenar yang diizinkan syariat. Sehingga menggugurkan kandungan karena alasan semacam ini, tidak dibolehkan. Komite Ulama telah menegaskan hal ini, meskipun tindakan menggugurkan itu dilakukan di fase 40 yang pertama.

Jika kandungan telah berusia 120 hari, tidak halal untuk digugurkan, meskipun menurut prediksi dokter disimpulkan bentuknya cacat. Karena pada usia ini telah ditiupkan ruh kedalam janin, dan telah menjadi manusia. Sehingga menggugurkan janin pada usia ini hakekatnya adalah membunuh manusia. Hanya saja, jika membiarkan janin ini akan membahayakan, yang mengancam kehidupan ibunya, apakah dalam keadaan ini boleh digugurkan?Ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini,Pendapat pertama, tidak boleh digugurkan, meskipun dipastikan membahayakan, bahkan meskipun ibunya meninggal jika janin tetap tidak digugurkan. Diantara ulama yang berpendapat semacam ini adalah Imam Muhammad Al-Utsaimin

rahimahullah.Mereka menegaskan, selama ruh sudah ditiupkan, tidak boleh digugurkan, apapun keadaannya. Bahkan meskipun dokter memutuskan, jika janin tidak digugurkan, ibunya akan mati, tetap tidak boleh digugurkan. Alasan yang mereka sampaikan:Bahwa kita dilarang untuk membunuh satu nyawa, dalam rangka mempertahankan nyawa lainnya. Sementara menggugurkan janin setelah berusia 120 hari, termasuk membunuh jiwa.Jika ada yang bertanya, “Apabila kita pertahankan janin, kemudian ibunya mati, maka janin juga akan mati. Sehingga yang mati dua nyawa. Namun jika kita keluarkan janin, bisa jadi ibunya akan

selamat.”Jawaban Imam Ibnu Utsaimin,Jika kita pertahankan janin, kemudian ibunya mati sebab janin itu, dan janin itu juga mati setelah ibunya maka kematian ibunya bukan karena perbuatan kita, namun murni takdir Allah. Dialah yang menetapkan kematian ini untuk sang ibu, disebabkan kehamilan. Berbeda dengan ketika kita gugurkan janin yang sudah hidup, kemudian mati karena digugurkan, berarti kematian janin ini disebabkan perbuatan kita, dan itu tidak boleh kita lakukan.

Kesimpulannya, pendapat pertama ini berpendapat bahwa menggugurkannya setelah 120 hari, melanggar hak orang lain, membunuh satu nyawa untuk mempertahankan nyawa yang lain.

Pendapat kedua, apabila dokter terpercaya telah menetapkan bahwa jika janin dibiarkan akan mengancam keselamatan ibunya, bahkan akan menyebabkan kematian ibunya jika janin dibiarkan setelah dilakukan semua bentuk sarana untuk menyelamatkan hidup janin, maka dalam kondisi ini boleh digugurkan.Diantara yang menguatkan pendapat ini adalah Komite Ulama Besar KSA dan Majma’ Fiqh islami di bawah Rabithah. Mereka beralasan:

Menggugurkan janin dalam kondisi ini, termasuk mengambil sikap menghindari bahaya yang lebih besar, dan mengambil yang lebih maslahat. Karena dalam kasus ini kita dihadapkan dua hal yang mengancam: kematian ibu dan kematian janin. Sementara kematian ibu lebih besar bahayanya dibandingkan kematian janin. Karena kemungkinan untuk bisa hidup bagi ibu, lebih meyakinkan. Sementara peluang untuk hidup bagi sang janin setelah dia lahir, masih diragukan. Sehingga kematian ibunya lebih besar kerugiannya.
Karena itu, boleh menggugurkan janin, dalam rangka menghindari kerugian yang lebih besar. Pendapat kedua inilah yang lebih mendekatikebenaran. Allahu a’lam.

Hanya saja, ini boleh dilakukan dengan syarat, dan tidak berlaku mutlak. Syaratnya adalah ada kesepakatan diantara para dokter bahwa mempertahankan janin ini akan membahayakan kehidupan ibunya. Dan jika janin dipertahankan, akan menyebabkan kematian ibunya.

Apabila dokter telah sepakat hal itu, padahal sudah dilakukan segala upaya untuk mempertahankan kehidupannya, namun itu tidak mungkin kecuali dengan menggugurkan janin, dalam rangka menyelamatkan nyawa ibunya, boleh menggugurkannya dalam kondisi ini. Itulah pendapat yang lebih mendekati dalam masalah ini.

Sanggahan bagi pendapat pertama yang melarang menggugurkan janin, karena tidak boleh menghilangkan satu nyawa untuk mempertahankan nyawa yang lain. Bisa kita jawab,

Sekaran kita memiliki dua jiwa: Ibu dan janin. Jika janin tidak digugurkan, akan menyebabkan kematian ibunya. Padahal kematian ibu lebih besar kerugiannya. Sehingga boleh menggugurkan janin, dalam rangka menghindari bahaya yang lebih besar.

Sebelum menginjak usia 120 hari di kandungan, janin berada pada fase segumpal darah dan daging. Apabila dokter menetapkan bahwa pada fase itu janin mengalami cacat yang membahayakan, tidak mungkin bisa disembuhkan, dan jika dibiarkan hidup maka kondisi hidupnnya buruk, menjadi masalah baginya dan bagi keluarganya, maka dalam kondisi ini boleh digugurkan, sesuai dengan permintaan orang tua. Karena janin pada fase ini belum ditiupkan ruh, dan belum disebut manusia. Baru berbentuk mudhghah (segumpal daging) atau ‘alaqah (segumpal darah), sehingga boleh digugurkan.

Pada fase 40 hari pertama, boleh digugurkan jika terdapat maslahat yang mendesak secara syariat, atau untuk menghindari bahaya yang pasti terjadi. Diantaranya adalah jika janin ini dibiarkan hidup, akan cacat secara fisik. Sehingga kondisi janin semacam ini, tidakmasalah digugurkan pada fase 40 yang pertama, dengan catatan di atas. Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkan untuk menggugurkannya tanpa syarat apapun. Dan itulah zhahir madzhab hambali.


Dari penjelasan di atas, para ulama sangat keras menentang tindakan menggugurkan janin setelah berusia 120 hari, kemudian pada fase kedua, fase mudhghah dan ‘alaqah, mereka mengambil sikap keras menentang, namun tidak sebagaimana yang pertama. Adapun pada fase 40 hari pertama, mereka tidak banyak mengambil sikap keras dalam masalah ini. Karena itulah, boleh menggugurkan kandungan pada fase 40 hari pertama.

Sumber :

KOTAK KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...