Pascamasa penjajahan, Pemerintahan Republik Indonesia menjalankan pemerintahan sembari berbenah. Mengatur peredaran uang resmi sebagai alat pembayaran termasuk diantaranya.
Sejarah mencatat, negeri ini belum memiliki mata uang selepas merdeka. Pada Oktober 1946 ketika Indonesia memiliki uang sendiri yang dikenal dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI), peredarannya ke daerah masih menemui kendala. ORI yang dicetak di Malang ini, dipertanggungjawabkan kepada Bank Negara di Yogyakarta.
Di Ibukota, dan daerah termasuk Jambi ketika itu uang kertas yang dikeluarkan pemerintahan militer Jepang untuk Indonesia masih berlaku. Selain menggunakan uang peninggalan Nippon, transaksi perdagangan di Jambi di dilakukan dengan barter. Kendati demikian, uang semisal dolar Singapura juga beredar di sini.
Masa-masa itu, adalah masa ketika harga karet menjadi rujukan. Maklum saja, dulu karet adalah komoditas ekspor andalan Jambi. Mukty Nasruddin, seorang veteran ingat betul zaman ketika peredaran uang masih sangat terbatas. Kata dia, Jambi yang merupakan pelabuhan terbuka di awal kemerdekaan memberlakukan sistem barter dan itu menyesuaikan dengan naik turunnya harga karet.
Dalam bukunya Jambi dalam Sejarah Nusantara, Mukty berkisah, Belanda memungut cukai barang yang dibawa dari dan ke Singapura dengan standar uang dolar Singapura.
Menurutnya, lantaran keterbatasan ketersediaan ORI akhirnya Pemerintah Sumatera mencetak pula uang bilyet yang disebut Oeang Republik Indonesia Pemerintah Sumatera (ORIPS).
“Uang tersebut dikirim untuk Jambi yang nilainya masih besar untuk belanja barang sehari-hari sebab standar harga barang di Jambi masih sangat rendah sekali,” tulisnya dalam buku yang dijadikan banyak kalangan sebagai rujukan tersebut.
Tapi, peredaran ORIPS di Jambi pun tak banyak membantu. Akhirnya, kisah Mukty, untuk kelancaran transaksi pada pedagang kecil Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Jambi berinisiatif memberi kuasa penuh pada pemerintah keresedenan mencetak uang kecil.
Masih menyitir cerita beliau, uniknya uang ini berupa kupon yang bernilai Rp 0,5; Rp 1; Rp 2,5; Rp 5; dan Rp 10. “Kertasnya kertas kopi dengan tinta stensil warna hitam,” tuturnya.
Menariknya, ketika itu kondisi keuangan relatif stabil. Artinya, ia yakin walau uang itu mudah ditiru, tapi yang terjadi justru sebaliknya, tidak ada pemalsun.
Banyak cerita yang menyertai produksi dan peredaran “uang Jambi” yang dikenal dengan nama kupon ini. Misalnya dalam hal, produksi. Pertanyaan yang muncul siapa yang harus menandatangani kupon sebagai alat pembayaran itu?
Mukty bilang, kupon pada mulanya ditandatangani langsung oleh Residen Jambi masa itu, yakni Raden Inu Kertapati. Keturunan Sultan Thaha itu membubuhkan tanda tangan di bagian kanan bawah. Melengkapi, dibubuhkan pula tanda tangan seorang anggota komisi di bagian kiri bawah.
“Kirakan (saja) berapa ribu lembar sehari Residen Inu Kertopati harus membubuhi tanda tangannya pada kupon kupon itu,” tanya Mukty dalam bukunya.
Menurut Mukty, pencetakan kupon tidak pula sekehendak hati melainkan didasarklan jumlah nilai ORI dan ORIPS yang ada di Jambi. Terkait ORIPS ini, Mukty menuliskan kegelisahan yang sempat menyeruak di masyarakat.
“Terdapat kepalsuan pada uang ORIPS yang bergambar kapal terbang bernilai Rp 25, kalau tak salah timbul keresehan di tengah rakyat sedangkan cetakan uang tersebut sangat rapi. Uang kertas tersebut berasal dari Bukittinggi dari sub Provinsi Sumatera Tengah. Walaupun tidak ditarik peredaran rakyat tidak akan mau menerimanya,” papar veteran yang peduli dengan sejarah Jambi itu.
Sebagai rakyat dan pejuang Jambi, tampak Mukty begitu bangga akan keberadaan uang kupon kertas kopi itu. Ia tegas menulis, dengan kehadiran uang itu Jambi dapat mencarter pesawat Catalina dan dapat mendukung delegasi Indonesia ke PBB.
KOTAK KOMENTAR
|
No comments:
Post a Comment