Semakin dewasa, akhir pekan kian terasa berbeda. Sekarang bukan lagi masanya menggulung diri di dalam selimut, mandi sekali sehari, lalu nonton serial TV seharian. Undangan pernikahan teman yang hampir tiap weekend datang harus dihadiri sebagai tanda penghormatan.
Perasaan bahagia saat melihat teman seperjuangan bersanding dengan pasangan pilihannya sering diikuti dengan pertanyaan yang muncul tanpa diminta,
“Duh, besok bakal bersanding di pelaminan sama siapa ya?”
“Jodoh gue besok kayak gimana ya? Ketemunya masih lama nggak ya?”
Rasa cemas, insecure sebab masih sendiri di usia yang kata orang sudah matang membuat kita merasa harus segera mengikuti jejak mereka. Urusan jodoh, tanpa sadar menjadikan kita manusia yang selalu khawatir — sampai benar-benar jadi pasangan sah di depan negara dan agama.
Padahal jika mau bersabar sedikit saja– bukankah jodoh itu sebenarnya sederhana?
Selama ini kita seperti pecinta alam dan sutradara yang terlampau kreatif. Menerka dan membuka jalan, yang sebenarnya belum tentu diamini oleh Tuhan. Kita adalah manusia yang terlampau kreatif dalam mengarang cerita.
Kita adalah manusia yang terlampau kreatif dalam mengarang cerita.
Ada satu orang sahabat saya yang cuek setengah mati soal urusan cinta. Sampai ulang tahunnya yang ke-24 dia memegang trofi sebagai jomblo abadi. Isi hidupnya hanya kuliah, segala urusan organisasi, ikut penelitian dosen, kumpul-kumpul bersama kami, lalu belakangan ikut kursus pra nikah sesekali. Dengan statusnya yang masih sendiri.
Tapi anehnya sahabat saya ini tidak pernah merasa kekurangan. Di wajahnya selalu bisa kami temukan senyum bahagia, bahkan lebih tulus dari kami yang ditemani pacar ke mana-mana. Dia adalah orang yang berapi-api soal cita-cita. Tak harus dihadapkan pada kegalauan saat ngambek dengan pacar membuatnya bisa menghabiskan waktu untuk banyak menulis dan membaca.
Plot twist pun tiba. Saat kami masih galau soal pekerjaan pertama dan perkara membawa hubungan cinta ke arah mana — kami mendapat kabar bahwa jomblo abadi ini akan menikah dengan pria yang selama ini jadi kawan satu organisasinya. Akad akan dilakukan segera selepas lamaran, demi menghindari hal-hal yang keluar dari ajaran.
Geli rasanya. Kami yang sudah berinvestasi waktu pun perasaan dalam ikatan pacaran sekian lama justru belum berani mengikuti jejaknya. Menghadiri prosesi akadnya seperti membawa kaca ke depan muka:
Jika mau jujur sedikit saja, sebenarnya berapa banyak waktu kita yang sudah terbuang sia-sia?
Saat kami menghabiskan masa muda dengan meratapi sakit hati, dia justru bebas loncat dari satu organisasi ke lembaga kemasyarakatan yang menarik hati. Dia boleh jadi tak merasakan debaran saat bertukar rayuan manis dengan pacar, tapi justru pernikahannya membuat kami sedikit gusar.
Ketika kami terlalu sibuk bertukar janji demi masa depan bersama, sahabat saya ini justru langsung berani menjalaninya — bersama pria pilihannya.
Berkaca dari banyak pengalaman ternyata yang dibutuhkan hanya kemantapan dan sedikit kenekatan. Membangun masa depan tak memerlukan keahlian yang dibiakkan dari pacaran. Membangun masa depan ternyata tak butuh keahlian dari pacaran
Seringkali kalkulasi manusia dan kalkulasi Tuhan berjalan di platform yang berbeda. 1095 hari bersama tidak membawa kemantapan yang sudah ditunggu sekian lama. Kita masih sering memandang wajah orang yang sudah kita genggam tangannya bertahun-tahun lamanya, kemudian membayangkan apakah masa depan benar-benar layak dijalani bersamanya.
Hubungan yang sudah sempurna di mata orang-orang bisa kandas. Perasaan yang kuat ternyata bisa hilang. Bersisian sekian lama, menerka masa depan berdua ternyata tidak menjanjikan apa-apa. Jika memang tidak ada niatan baik untuk membawa hubungan ini ke arah selanjutnya.
Inilah kenapa kisah-kisah “bertemu-orang-yang-tepat” setelah putus dari pacaran bertahun-tahun bermunculan. Kenekatan kerap muncul setelah dikecewakan. Keinginan membangun komitmen ternyata perlu didorong oleh hati yang sudah lelah menghadapi perihnya kegagalan. Ibarat lari maraton panjang, selepas garis finish kita hanya ingin meregangkan otot yang tegang — dalam sebuah peristirahatan yang jauh dari kata menantang.
Ternyata keyakinan untuk bisa membangun masa depan bersama tidak membutuhkantraining bertahun-tahun lamanya. Kita bisa mengeliminasi keharusan PDKT, ratusan kali kencan, dan episode drama yang jumlahnya melebihi jari tangan.
Dalam banyak kasus, justru kemantapan itu datang setelah memantaskan diri sebagai pribadi — selepas dipertemukan dengan orang yang juga sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Jodoh toh bukan aljabar yang harus membuat kita sakit kepala. Bahkan prosesi peresmiannya berlangsung tak lebih dari hitungan menit saja. Haruskah kita galau pada prosesi yang berlangsung dalam hitungan menit saja?
Bukankah tujuan akhir dari selalu ke mana-mana berdua adalah ucapan dalam satu hela nafas,
“Saya terima nikahnya!”
Lucu bukan, jika kita rela menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya demi prosesi yang berlangsung bahkan lebih singkat dari wisuda?
Semakin dewasa, setelah jadi saksi bagaimana kawan-kawan menemukan pasangan hidupnya — pandangan kita terhadap jodoh justru akan makin sederhana. Ini bukan lagi soal kencan kemana, memperindah diri dengan baju apa, sampai berapa lama sudah saling mendampingi dan memanggil sayang ke depan muka.
Jodoh ternyata tak lebih dari soal keberanian, kesiapan sebagai pribadi bertemu dengan peluang, keyakinan bahwa hidup tak lagi layak diperjuangkan sendirian. Konsep jodoh yang dengan jelas sudah disiapkan Tuhan sebenarnya tidak menuntut kita untuk galau menantikannya.
Toh dia pasti akan datang sendiri. Bukankah Tuhan tidak akan bermain-main dengan janji?
Kita-kita ini saja yang suka lebay mendramatisir suasana. Merasa paling merana jika belum menemukannya. Merasa hidup kurang sempurna jika belum bertemu pasangan yang bisa menggenapkan separuh jiwa. Padahal jika memang sudah waktunya, pintu jodoh itu akan terbuka dengan sendirinya. Mudah, sederhana, bahkan kadang tanpa banyak usaha.
Kalau memang bukan garisnya, diikat pakai batu akik pun, tak akan jadi jodoh kita seorang anak manusia. Jika memang begini hukumnya — haruskah kita galau dan bercemas diri lama-lama? Haruskah kita galau lama-lama?
Pertunangan bisa gagal, khitbah bisa dibatalkan, pun resepsi bisa di-cancel beberapa jam sebelum perhelatan. Ikatan sebelum pernikahan (ternyata) tidak layak membuat kita merasa aman, pun bangga karena merasa sudah punya pasangan. Sebab ternyata tak ada yang bisa memberi jaminan.
Janji-janji manis yang sudah terucap sebelumya tidak akan berarti apa-apa sampai ada tanda sah di depan negara dan agama. Cincin berlian, atau bahkan batu akik yang sedang hits itu tak akan membantu apapun, jika memang jalan hidup berkata sebaliknya.
Daripada mencemaskan yang sudah tergariskan, mengapa kita tidak mengusahakan yang bisa diubah lewat usaha keras? Rezeki, pekerjaan, membuka kesempatan untuk kembali studi di luar negeri, sampai memutar otak demi membahagiakan orangtua yang sudah tak semandiri dulu lagi misalnya? Hal-hal itu lebih layak mengakuisisi ruang otak kita dibanding terus-terusan galau memikirkan pasangan yang sudah jelas dipersiapkan oleh yang Maha Kuasa.
Akan tiba masanya, ketika kita memandang orang yang tertidur dengan lelap di sisi kanan sembari tersenyum. Ternyata begini jalannya. Ternyata inilah jodoh kita yang telah disiapkan oleh Tuhan. Suatu hari, semua kecemasan yang memenuhi rongga kepala ini hanya akan jadi bahan tertawaan saja.
Bolehkah mulai sekarang kita berusaha lalu berserah saja? Sebab pada akhirnya, jodoh toh sebenarnya sederhana.
KOTAK KOMENTAR
|
No comments:
Post a Comment